Banyak pertanyaan masuk via e-mail yang menanyakan, bahkan sampai bernada protes... bahwa konsep Cashflow4Muslim hanya untuk yang berpenghasilan besar saja. Sedangkan yang penghasilannya kecil mustahil bisa membagi penghasilan untuk sedekah, untuk bayar hutang, untuk nabung, dan untuk belanja. Bisa belanja gak pake ngutang aja udah bagus deh... begitu keluh kesah mereka.
Melihat pertanyaan yang diajukan via imel, dan file C4M juga tersebar via imel, maka saya menyimpulkan bahwa mereka adalah masyarakat yang terdidik, setidaknya melek internet. Bekerja, artinya berpenghasilan rutin, walaupun mungkin sebatas UMR (menurut pengakuannya).
Bahkan pernah ada satu imel "marah-marah" dan memprotes contoh yang diberikan karena menggunakan angka yang sangat besar, dan tidak mungkin bisa dilaksanakan. Padahal sudah berulang kali saya jelaskan bahwa contoh itu dibuat untuk peserta pelatihan, bukan untuk orang lain. Konsepnya bisa digunakan oleh siapapun, tapi yang namanya contoh tentu saja bisa sesuai bisa juga tidak.
Nah, beberapa hari yang lalu, saya menerima imel dari penyelenggara seminar yang menyampaikan kesan dan komentar dari para peserta. Kalau melihat latar belakang pesertanya, jelas peserta seminar ini secara ekonomi tidak lebih baik daripada pengirim imel yang memprotes itu. Karena sebagian dari mereka tidak memiliki penghasilan tetap sebagai karyawan, mungkin hanya buruh harian.
Yang menarik untuk dicermati adalah ternyata para peserta seminar ini ternyata bisa kok melaksanakan konsep C4M walaupun penghasilan mereka lebih kecil. Kuncinya sederhana, mereka mau mencobanya terlebih dahulu, sebelum berfikir negatif bahwa ini tidak bisa dilaksanakan.
Ada seorang ibu yang memotong jatah belanjanya... yang tadinya Rp 20.000/hari dapat jatah dari suami lalu dihabiskan semua. Ia rubah menjadi hanya Rp 10.000 saja yang dipakai, dan sisanya disimpan. Kemudian yang tadinya suaminya dibelikan rokok 1 bungkus per hari, kali ini hanya dibelikan 3 batang saja di pagi hari. Kalau sudah habis, minta lagi, syukur-syukur bisa sampai sore. Begitu alasan si ibu pada suaminya.
Untuk yang pesimis, saya selalu katakan, bahwa bisa atau tidak menjalankan konsep ini bukan bergantung pada seberapa besar penghasilan kita, tapi lebih kepada seberapa besar niat kita untuk merubah kondisi keuangan kita sendiri. Karena yang bisa merubah kondisi keuangan kita bukanlah perusahaan yang menggaji kita, bukan pula harga-harga yang naik-turun, yang bisa merubah adalah diri kita sendiri, dengan izin Allah tentunya.
Melihat pertanyaan yang diajukan via imel, dan file C4M juga tersebar via imel, maka saya menyimpulkan bahwa mereka adalah masyarakat yang terdidik, setidaknya melek internet. Bekerja, artinya berpenghasilan rutin, walaupun mungkin sebatas UMR (menurut pengakuannya).
Bahkan pernah ada satu imel "marah-marah" dan memprotes contoh yang diberikan karena menggunakan angka yang sangat besar, dan tidak mungkin bisa dilaksanakan. Padahal sudah berulang kali saya jelaskan bahwa contoh itu dibuat untuk peserta pelatihan, bukan untuk orang lain. Konsepnya bisa digunakan oleh siapapun, tapi yang namanya contoh tentu saja bisa sesuai bisa juga tidak.
Nah, beberapa hari yang lalu, saya menerima imel dari penyelenggara seminar yang menyampaikan kesan dan komentar dari para peserta. Kalau melihat latar belakang pesertanya, jelas peserta seminar ini secara ekonomi tidak lebih baik daripada pengirim imel yang memprotes itu. Karena sebagian dari mereka tidak memiliki penghasilan tetap sebagai karyawan, mungkin hanya buruh harian.
Yang menarik untuk dicermati adalah ternyata para peserta seminar ini ternyata bisa kok melaksanakan konsep C4M walaupun penghasilan mereka lebih kecil. Kuncinya sederhana, mereka mau mencobanya terlebih dahulu, sebelum berfikir negatif bahwa ini tidak bisa dilaksanakan.
Ada seorang ibu yang memotong jatah belanjanya... yang tadinya Rp 20.000/hari dapat jatah dari suami lalu dihabiskan semua. Ia rubah menjadi hanya Rp 10.000 saja yang dipakai, dan sisanya disimpan. Kemudian yang tadinya suaminya dibelikan rokok 1 bungkus per hari, kali ini hanya dibelikan 3 batang saja di pagi hari. Kalau sudah habis, minta lagi, syukur-syukur bisa sampai sore. Begitu alasan si ibu pada suaminya.
Untuk yang pesimis, saya selalu katakan, bahwa bisa atau tidak menjalankan konsep ini bukan bergantung pada seberapa besar penghasilan kita, tapi lebih kepada seberapa besar niat kita untuk merubah kondisi keuangan kita sendiri. Karena yang bisa merubah kondisi keuangan kita bukanlah perusahaan yang menggaji kita, bukan pula harga-harga yang naik-turun, yang bisa merubah adalah diri kita sendiri, dengan izin Allah tentunya.
Comments