Skip to main content

To Give is To Receive

Saya cukup prihatin memperhatikan berita mengenai Idul Adha tahun ini. Yang paling memprihatinkan adalah "perebutan" kupon daging kurban di Polda Metro Jaya, lalu aksi loncat pagar di Masjid Agung Tegal karena sudah tidak sabar mengantri (padahal itu baru kupon saja yang dibagikan, belum dagingnya). Besoknya pintu gerbang Mabes Polri rusak karena didorong antrian daging kurban, sekitar seratus orang kecewa di Istiqlal karena tidak kebagian daging kurban.

Liputan berita TV itu tentunya dilengkapi dengan berita juga bahwa beberapa masjid memotong lebih sedikit hewan kurban dibanding tahun lalu. Sorotan kini beralih ke penjual kambing dan sapi. Mereka pun mengaku jumlah hewan kurban yang terjual menurun dibanding tahun lalu. Alasannya mungkin karena saat ini sedang krisis.

Karena krisis, lalu semakin sedikit orang yang berkurban.

Dilihat sepintas, ide ini ada benarnya juga. Tapi itu kan pilihan kalimat untuk mereka yang membatasi rezekinya sendiri. Kenapa tidak berfikir sebaliknya? karena sedang krisis maka yang membutuhkan hewan kurban makin banyak, sehingga kita perlu lebih banyak berkurban. Inilah pola pikir mereka yang rezekinya tidak mau dibatasi.

Kita semua sudah tahu, bahwa yang namanya sedekah justru akan menambah rezeki kita, bukan mengurangi. Itulah prinsip pertama dalam Cashflow for Muslim Golden Rules: Pay Your God First.

Ada sebeuah penelitian yang sangat menarik mengenai fenomena sedekah. Peneliti melakukan MRI (scan otak) kepada orang-orang yang diberikan pilihan apakah akan tetap menyimpan uangnya, ataukah menyumbangkannya pada orang lain tanpa disebutkan identitasnya. Artinya, diupayakan supaya mereka tidak berharap imbal balik (ikhlas).

Ternyata, ketika mereka memutuskan untuk menyumbangkan uangnya, terjadi reaksi di otak yang sama persis dengan ketika mereka menerima uang tersebut.

Artinya, "kesenangan" kita ketika menerima uang, itu sama "senang"nya ketika kita memberikannya pada orang lain dengan ikhlas.

Mana yang lebih penting untuk Anda? uangnya secara fisik? atau rasa senang ketika menerima uang tersebut?

Uang bernilai relatif, ada yang puas dengan gajinya dan ada yang merasa terlalu kecil. Padahal bisa jadi yang tidak puas dengan gajinya itu punya gaji yang lebih besar daripada yang puas. Kenyataan itu sudah sering kita lihat, ada atasan yang stress dan bawahan yang happy. Kalau kita lihat dari fenomena ini, maka yang lebih penting sebenarnya adalah perasaan senang ketika menerima uangnya, bukan jumlah uangnya.

Maka kalau kita merasa rezeki terlalu sempit, tidak terlalu senang dengan gaji yang "terasa" kecil... merugilah kita. Maka obatilah kecewanya hati dengan bersedekah... karena dengan itu kita akan mendapatkan kesenangan, yang tidak kita rasakan ketika menerima gaji karena kecewa dengan nominalnya. Walaupun tidak (merasa) senang ketika menerima, setidaknya kita senang ketika memberi. Dapatlah minimal 1 kali kesenangan. Karena kalau kita kecewa dengan gaji kita, lalu juga tidak sedekah, maka kita hanya akan terus kecewa. Tidak ada kebahagiaan dalam hati. Betapa miskinnya kita jadinya, miskin harta, juga miskin hati.

Kalau kita merasa senang ketika menerima gaji, berapapun jumlahnya, maka perbanyaklah sedekah... karena dengan bersedekah kita akan merasakan 2 kali rasa senang. Yaitu senang ketika menerima, dan senang ketika memberi. Dan ketika senang kita bertambah (syukur bertambah), maka produktivitas kita meningkat, kinerja dalam karir atau bisnis meningkat. Otomatis, penghasilan pun meningkat. Datang lagi kesenangan berikutnya, yaitu senang ketika menerima penghasilan yang meningkat.
Teruskan sedekah, dapat senang lagi... penghasilan meningkat... senang lagi... penghasilan disedekahkan... senang lagi... senang lagi.... senang lagi.... senang lagi....
Inilah yang namanya kaya harta, dan kaya hati.

Always to remember, Pay Your God First... because to Give is to Receice...

Comments

Popular posts from this blog

Perencanaan Keuangan Konvensional vs Syariah

Proses perencanaan keuangan syariah dimulai dari meluruskan niat, bahwa niatnya adalah untuk merencanakan masa depan tanpa melupakan unsur takdir. Usaha yang dibarengi kepasrahan ini disebut juga dengan tawakal. Dan tentu saja tujuan yang ingin dicapai klien bukan hanya mengejar kepentingan materi semata, tapi juga kesuksesan di akhirat ( al-falaah ). Tujuan keuangan klien pun disesuaikan prioritasnya dengan ajaran Islam, yaitu mendahulukan yang wajib di atas yang sunnah. Misalnya, seorang klien ingin memberikan dana haji untuk anak-anaknya, namun menyerahkan urusan perkawinan pada anak-anaknya masing-masing. Hal ini perlu diluruskan oleh perencana keuangan syariah. Karena menikahkan anak itu wajib, sedangkan menghajikan itu tidak wajib. Maka menyiapkan dana untuk menikahkan anak lebih prioritas daripada menyiapkan dana untuk menghajikan mereka. Aspek legalitas transaksi keuangan pun perlu juga diperhatikan. Agar jangan sampai melanggar atusan syariat seperti riba (bunga), maisyir (jud

If you wanna be rich & healthy, be happy…!

Dalam pandangan masyarakat pada umumnya, termasuk kita sendiri, tidak bisa kita hindari anggapan bahwa semakin kaya seseorang pastilah ia akan semakin bahagia. Atau dengan kata lain, kekayaan bisa mendatangkan kebahagiaan. Tapi ternyata, anggapan itu tidak selalu benar, meskipun juga tidak bisa kita bilang salah. Ada beberapa penelitian yang menarik untuk bahas berkaitan dengan hal ini: Penelitian dilakukan pada tahun 1957 di Amerika Serikat. Pada saat itu rata-rata penghasilan adalah 10.000USD dan kehidupan pada saat itu masih tanpa televisi, mesin cuci, atau perlengkapan rumah tangga yang canggih lainnya. 35% dari penduduk yang disurvey menyatakan bahwa kehidupan mereka pada saat itu “sangat bahagia”. Survey yang sama kemudian dilakukan pada tahun 2004 ketika rata-rata penghasilan penduduk Amerika sudah 3 kali lipatnya (inflasi telah disesuaikan) atau sekitar 30.000USD (dengan standar harga tahun 1957). Tentu saja pada tahun 2004 ini kehidupan mereka sudah lebih modern dengan rumah t

Investasi Berjamaah dengan Reksadana Syariah

Saya masih ingat sewaktu kecil dulu, ustadz mengajak kita untuk menegakkan sholat berjamaah. Sholat berjamaah itu lebih tinggi derajatnya 27 kali lipat daripada sholat sendirian, begitu katanya. Kekurangan-kekurangan kita dalam menjalankan ibadah sholat seperti bacaan yang kurang sempurna, kurang khusyuk dan sebagainya akan dilengkapi oleh jamaah yang lainnya. Begitu penjelasan ustadz. Ternyata prinsip ini rupanya relevan juga dengan dunia investasi. Dimana dalam investasi, jika melakukan investasi sendiri kita harus benar-benar menjalankan semuanya sendirian dengan baik. Jika tidak, bukannya untung didapat, mungkin malah rugi jadinya. Sedangkan investasi secara bersama-sama atau berjamaah, risikonya menjadi lebih rendah dan hasilnya pun lebih optimal. Misalnya saja ketika kita ingin menginvestasikan dana yang kita miliki di bursa saham. Walaupun sekarang ini dengan dana Rp 10 juta saja sudah bisa mulai buka rekening efek untuk transaksi di bursa saham, tapi untuk bisa optimal memang s