Skip to main content

Menyiasati Penghasilan yang Tidak Rutin

Beberapa bulan yang lalu, sms mampir masuk ke hape saya dan menanyakan mengenai Cashflow for Muslim. Hanya satu hal sederhana yang ditanyakan, tapi jawabannya jelas tidak sederhana, oleh karena itu saya tidak langsung menjawab pertanyaannya melalui sms. Alhamdulillah disertakan juga alamat imel dan blog-nya sehingga bisa saya follow-up. Pertanyaannya adalah, "bagaimana kalau penghasilan yang diterimanya tidak pasti?"
Bukan kali ini saja pertanyaan ini diajukan, sudah seringkali pertanyaan ini diajukan melalui konsultasi di media masa, pada event seminar & pelatihan, talkshow radio & televisi, atau oleh klien saya langsung.

Pada dasarnya, cashflow pengeluaran kita dapat dibagi menjadi dua macam. Ada pengeluaran yang sifatnya tetap, dan ada yang tidak tetap. Dalam kondisi norma, sebagian besar dari pengeluaran kita relatif tetap. Setidaknya dalam batasan tertentu, kita membayar tagihan listrik & telepon cenderung stabil, cicilan hutang juga biasanya fixed, sekolah anak, gaji pembantu, uang jajan anak, semua sudah tetap jumlahnya. Sedangkan yang tidak tetap, misalnya untuk makanan, transport (bisa masuk tetap atau tidak tetap), pakaian, hiburan, dll, dalam keadaan normal cenderung lebih kecil jumlahnya. Maka tentunya akan lebih baik juga jika penghasilan kita juga jumlahnya tetap sehingga bisa dengan mudah merencanakan pengeluaran setiap bulan.

Tapi kita juga harus menyadari bahwa tidak semua orang punya penghasilan tetap seperti halnya karyawan. Di Indonesia, ada lebih banyak orang yang mengandalkan penghasilan pada sektor non-formal, usaha kecil, freelancer, pengusaha, makelar, petani, peternak, dan sebagainya dengan penghasilan yang tidak tetap dibandingkan dengan karyawan yang berpenghasilan tetap. Untuk mereka yang memiliki penghasilan tidak tetap, saya selalu katakan, jangan biarkan pengeluaran Anda mengikut penghasilan Anda. Karena ketika penghasilan kita naik, akan sangat mudah sekali ikut menaikkan juga pengeluaran. Tapi ketika pengeluaran turun, maka akan sangat sulit mengajak pengeluaran kita untuk turun kembali. Dan pengeluaran yang bisa dengan mudah diajak naik itu tidak lain adalah pengeluaran yang sifatnya tidak tetap.

Sekarang coba lihat kembali daftar pengeluaran yang jumlahnya tidak tetap, makanan, transport, hiburan, pakaian... ini berkaitan langsung dengan life style. Apa yang kita makan dan dimana kita makan adalah gaya hidup, moda transportasi yang kita pilih juga gaya hidup, begitu juga dengan pakaian dan hiburan, jelas bagian dari gaya hidup. Biasanya sih, kalo sudah menyangkut gaya hidup, lebih sulit untuk diajak kompromi karena sudah melibatkan banyak faktor emosi dan gengsi.

Oleh karena itu, sebisa mungkin, buat penghasilan kita menjadi "pasti". Bagaimana caranya?

1. Gaji diri Anda sendiri. Kalau penghasilan kita betul-betul sifatnya tidak pasti, dalam arti range penghasilannya bisa sangat jauh berbeda dari bulan ke bulan, cara yang terbaik adalah dengan menggaji diri sendiri. Berapapun penghasilan yang kita terima, masukkan kedalam rekening penampungan, dan dari situ kita ambil jumlah yang tetap setiap bulannya. Artinya kita menggaji diri kita sendiri dengan jumlah yang pasti setiap bulan dari tabungan kita sendiri. Hal ini dilakukan agar kita tidak usah terpengaruh dengan besar-kecilnya penghasilan yang diterima di bulan yang bersangkutan. Hidup tetap nyaman, tidak mudah stress ketika penghasilan kecil, dan tidak terdorong untuk boros ketika penghasilan besar. Cara seperti ini cocok untuk mereka yang berprofesi sebagai konsultan (seperti saya), dokter, pengacara, pengusaha, dll.

2. Kombinasikan pengeluaran sesuai penghasilan. Kalau penghasilan yang diterima merupakan kombinasi dari penghasilan pasti dan penghasilan tidak pasti, ada baiknya kita gunakan rumus sederhana "pengeluaran pasti dari penghasilan pasti, pengeluaran tidak pasti dari penghasilan tidak pasti". Misalnya begini, seorang tenaga marketing punya gaji plus komisi penjualan yang variatif, suami bekerja dan istri pengusaha (atau sebaliknya), karyawan dengan segudang sampingan, dll. Untuk membiayai pengeluaran yang rutin dan pasti, andalkan hanya dari penghasilan yang pasti saja yaitu gaji. Perlu dijadikan catatan agar terhindar dari efek negatif yang saya jelaskan di awal, kita perlu memasukkan belanja dapur, transport, yang sifatnya rutin kedalam pengeluaran yang pasti. Artinya, kita buat untuk pasti jumlahnya. Sedangkan pengeluaran yang tidak rutin, dan jelas tidak pasti... silakan mengandalkan pemasukan tambahan yang sifatnya juga tidak pasti. Misalnya, pakaian kan tidak rutin, bolehlah beli hanya kalau dapat bonus saja. Makan biasa di rumah dari uang gaji, boleh makan-makan di luar hanya kalau dapat komisi besar. Dalam kondisi tertentu, mereka yang punya sifat penghasilan seperti ini sebaiknya tidak berhutang sama sekali untuk beli kendaraan atau elektronik. Karena kadang punya daya beli yang luar biasa besar di saat-saat tertentu. Misalnya, biaya rutin dari gaji... tapi begitu proyek sampingan berhasil, bisa untuk langsung beli sepeda motor (tanpa nyicil), beli alat elektronik, bahkan mungkin beli rumah juga.

Comments

Popular posts from this blog

Perencanaan Keuangan Konvensional vs Syariah

Proses perencanaan keuangan syariah dimulai dari meluruskan niat, bahwa niatnya adalah untuk merencanakan masa depan tanpa melupakan unsur takdir. Usaha yang dibarengi kepasrahan ini disebut juga dengan tawakal. Dan tentu saja tujuan yang ingin dicapai klien bukan hanya mengejar kepentingan materi semata, tapi juga kesuksesan di akhirat ( al-falaah ). Tujuan keuangan klien pun disesuaikan prioritasnya dengan ajaran Islam, yaitu mendahulukan yang wajib di atas yang sunnah. Misalnya, seorang klien ingin memberikan dana haji untuk anak-anaknya, namun menyerahkan urusan perkawinan pada anak-anaknya masing-masing. Hal ini perlu diluruskan oleh perencana keuangan syariah. Karena menikahkan anak itu wajib, sedangkan menghajikan itu tidak wajib. Maka menyiapkan dana untuk menikahkan anak lebih prioritas daripada menyiapkan dana untuk menghajikan mereka. Aspek legalitas transaksi keuangan pun perlu juga diperhatikan. Agar jangan sampai melanggar atusan syariat seperti riba (bunga), maisyir (jud

If you wanna be rich & healthy, be happy…!

Dalam pandangan masyarakat pada umumnya, termasuk kita sendiri, tidak bisa kita hindari anggapan bahwa semakin kaya seseorang pastilah ia akan semakin bahagia. Atau dengan kata lain, kekayaan bisa mendatangkan kebahagiaan. Tapi ternyata, anggapan itu tidak selalu benar, meskipun juga tidak bisa kita bilang salah. Ada beberapa penelitian yang menarik untuk bahas berkaitan dengan hal ini: Penelitian dilakukan pada tahun 1957 di Amerika Serikat. Pada saat itu rata-rata penghasilan adalah 10.000USD dan kehidupan pada saat itu masih tanpa televisi, mesin cuci, atau perlengkapan rumah tangga yang canggih lainnya. 35% dari penduduk yang disurvey menyatakan bahwa kehidupan mereka pada saat itu “sangat bahagia”. Survey yang sama kemudian dilakukan pada tahun 2004 ketika rata-rata penghasilan penduduk Amerika sudah 3 kali lipatnya (inflasi telah disesuaikan) atau sekitar 30.000USD (dengan standar harga tahun 1957). Tentu saja pada tahun 2004 ini kehidupan mereka sudah lebih modern dengan rumah t

Investasi Berjamaah dengan Reksadana Syariah

Saya masih ingat sewaktu kecil dulu, ustadz mengajak kita untuk menegakkan sholat berjamaah. Sholat berjamaah itu lebih tinggi derajatnya 27 kali lipat daripada sholat sendirian, begitu katanya. Kekurangan-kekurangan kita dalam menjalankan ibadah sholat seperti bacaan yang kurang sempurna, kurang khusyuk dan sebagainya akan dilengkapi oleh jamaah yang lainnya. Begitu penjelasan ustadz. Ternyata prinsip ini rupanya relevan juga dengan dunia investasi. Dimana dalam investasi, jika melakukan investasi sendiri kita harus benar-benar menjalankan semuanya sendirian dengan baik. Jika tidak, bukannya untung didapat, mungkin malah rugi jadinya. Sedangkan investasi secara bersama-sama atau berjamaah, risikonya menjadi lebih rendah dan hasilnya pun lebih optimal. Misalnya saja ketika kita ingin menginvestasikan dana yang kita miliki di bursa saham. Walaupun sekarang ini dengan dana Rp 10 juta saja sudah bisa mulai buka rekening efek untuk transaksi di bursa saham, tapi untuk bisa optimal memang s